Sebuah Harapan Suci: Mengenal-Nya di Hari Akhir
Ada kalanya, sepotong nasihat atau untaian kata mampu menyentuh relung hati terdalam, menggetarkan jiwa, bahkan tanpa sadar meneteskan air mata. Begitulah yang saya rasakan ketika mendengarkan perkataan Ustadz Oemar Mita tentang hisab di akhirat bagi golongan hamba-Nya yang memiliki keterbatasan akal.
Beliau menyampaikan sebuah harapan yang begitu menenangkan: "Hisabnya itu tidak dihisab atas salat, tidak dihisab atas aurat, tidak dihisab atas puasa. Mereka cuma ditanya pertanyaan sederhana, ‘Kamu mengenal saya tidak?’ kata Allah. ‘Kami kenal Engkau, Ya Allah,’ dimasukkan oleh Allah ke surga.”
Mendengar kalimat itu, entah mengapa, air mata ini tiba-tiba menetes. Ada rasa haru yang tak terkira, sebuah lega yang membanjiri sanubari. Namun, seiring dengan keharuan itu, muncul pula sebuah kegelisahan, sebuah ketakutan yang merayap di hati: "Besok Fariz, anak saya, bakalan jawab apa ya kalau ditanya Allah begitu?"
Mengapa Air Mata Itu Menetes?
Pemahaman kita tentang hisab seringkali dipenuhi dengan bayangan pertanyaan-pertanyaan detail tentang amal, shalat, puasa, zakat, hingga interaksi dengan sesama. Bayangan tentang perhitungan yang rumit dan berat seringkali menjadi beban tersendiri. Namun, bagi sebagian hamba-Nya yang istimewa, yang 'pena'-nya diangkat dari catatan amal karena keterbatasan akal mereka, hisab itu begitu sederhana, begitu penuh rahmat.
Ini adalah perwujudan nyata dari firman Allah SWT yang tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Islam adalah agama kasih sayang, yang memberikan keringanan kepada hamba-Nya yang tidak mampu mengemban beban taklif (kewajiban syariat) sepenuhnya. Mereka tidak dihisab atas shalat yang tak tertegak sempurna, tidak dihisab atas aurat yang mungkin sulit tertutup, tidak dihisab atas puasa yang tak mampu ditahan. Allah, Yang Maha Pengasih, telah menghapuskan beban itu dari mereka.
Keringanan ini, bagi saya, adalah puncak kasih sayang ilahi. Sebuah janji bahwa di tengah segala keterbatasan di dunia, ada pintu surga yang terbuka lebar, yang kuncinya begitu sederhana: "Apakah kamu mengenal-Ku?"
Pergeseran Ekspektasi Seorang Ibu
Sejak Fariz hadir dalam hidup, setiap hari adalah perjuangan dan doa. Ekspektasi-ekspektasi duniawi seringkali memenuhi pikiran: harapan agar Fariz bisa berbicara lancar, agar ia bisa berinteraksi layaknya anak-anak lain, agar ia bisa mandiri. Setiap terapi, setiap usaha, adalah bagian dari harapan besar agar ia bisa menjalani hidup "normal" sesuai standar kita.
Namun, untaian nasihat Ustadz Oemar Mita itu bagaikan embun penyejuk yang membasuh hati. Seketika, semua ekspektasi duniawi itu terasa begitu kecil, bahkan seolah otomatis berubah. Bukan lagi sekadar keinginan agar Fariz bisa berbicara dengan lisan yang fasih di dunia ini. Sekarang, satu-satunya harapan dan doa yang paling dalam adalah:
"Ya Allah, aku hanya ingin Fariz kelak, di hadapan-Mu, ketika Engkau bertanya 'Apakah kamu mengenal-Ku?', ia akan bisa menjawab dengan yakin, 'Ya Allah, aku mengenal-Mu'."
Jawaban itu akan menjadi bukti cinta dan pengenalan hatinya kepada Sang Pencipta, terlepas dari segala keterbatasan verbal dan kognitifnya di dunia.
Mengenal Allah dengan Hati
Mungkin bagi kita yang berakal sempurna, "mengenal Allah" berarti memahami sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, mengamalkan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Tetapi bagi Fariz dan hamba-hamba Allah yang istimewa lainnya, pengenalan itu bisa jadi memiliki makna yang lebih murni, lebih fitri, langsung dari hati.
Mungkin mengenal Allah bagi mereka adalah merasakan kedamaian saat mendengar lantunan ayat suci, merasakan ketenangan saat berada di dekat orang-orang yang mencintai-Nya, atau merasakan sentuhan kasih sayang Ilahi dalam setiap kebaikan yang mereka terima. Pengenalan itu mungkin bukan melalui lisan yang fasih atau pemahaman konseptual yang rumit, melainkan melalui getaran jiwa yang tulus.
Kita tidak pernah tahu persis bagaimana Allah akan menguji atau memuliakan hamba-hamba-Nya yang istimewa ini. Namun, keyakinan akan kasih sayang dan keadilan-Nya adalah pilar utama. Hadis tentang "pengangkatan pena" adalah bukti rahmat-Nya yang tak terhingga. Dan harapan akan pertanyaan sederhana di hari akhir itu adalah janji manis bagi hati seorang ibu.
Semoga Fariz, dan semua anak-anak istimewa lainnya, kelak akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan keyakinan, dan menjadi penghuni surga-Nya yang kekal. Aamiin.
Saya membagikan kumpulan tulisan pribadi saya. Isinya memang lebih berupa pemikiran spontan, mirip dengan obrolan. Jadi kalaupun tidak mengambil e-booknya, tidak apa-apa, semoga tulisan tersebut tetap bisa bermanfaat ya. Bisa download disini
Komentar
Posting Komentar