Skincare?

 "Pelan-pelan, Dik": Obrolan dengan Guru Ngaji yang Mengubah Cara Pandangku Soal Rawat Diri

"Aku sekarang udah nggak pernah skin care-an lagi, lho. Gendut juga nggak masalah, yang penting anak dan keluarga sehat."

Kalimat itu meluncur dengan bangganya dari mulutku saat berbincang dengan guru yang biasa membimbingku mengaji. Ada semacam kepuasan batin saat itu, merasa telah menjadi ibu seutuhnya yang mendedikasikan seluruh hidup untuk keluarga. Urusan penampilan? Ah, itu nomor sekian.

Padahal kalau dipikir-pikir, mana ada "gendut yang sehat"? Hehe, itu mungkin cuma kalimat pembenaran saja.

Guruku tersenyum lembut, lalu mengucapkan kalimat yang pelan namun menohok.

"Pelan-pelan, Dik, harus mulai dirawat," katanya.

Beliau melanjutkan, seolah tahu persis apa yang ada di kepalaku.

"Kalau kita merawat diri, kita sendiri merasa enak, yang memandang di rumah juga enak. Coba sekarang dibalik saja. Kalau di rumah, dandan yang cantik. Kalau mau keluar rumah, nggak usah dandan malah nggak apa-apa."

"Bayangin saja, suami di luar seharian ketemu banyak orang yang cantik, wangi. Masa pas pulang ke rumah, yang dilihat malah istrinya yang kumal?"

Aku langsung menyela, "Tapi kan butuh budget, Mbak."

"Iya, makanya pelan-pelan," jawabnya sabar. "Ada yang lebih berhak untuk melihat kita cantik dan wangi daripada orang di luar sana. Kalau kita capek urus anak, kita masih bisa minta tolong orang lain. Tapi kalau suami, hanya istri yang benar-benar bisa melayaninya."

Obrolan singkat itu terus terngiang di kepalaku. Terutama bagian terakhirnya. Anak bisa dititip, suami kan nggak bisa. Jleb.

Malamnya, dengan sedikit ragu, aku memberanikan diri bertanya pada suami.

"Mas, aku mau coba skincare-an lagi, boleh?"

Aku sudah siap mental mendengar jawaban, "Nggak usah!" atau "Buat apa?". Tapi di luar dugaan, dia menjawab dengan tenang.

"Boleh. Bertahap, ya."

Aku kaget. Ternyata dia tidak menolak. Justru, dia paham kalau memulai lagi itu butuh proses dan biaya, makanya dia bilang "bertahap". Dan yang lebih membuatku terharu, di balik kata "bertahap" itu, aku tahu selalu ada usahanya untuk memenuhi kebutuhanku. ❤️❤️

Ini adalah sebuah kemajuan besar. Dulu, di awal-awal pernikahan, dia adalah orang yang paling anti melihatku dandan. Beli lipstik saja dia protes, padahal yang kupakai warnanya super lembut. Sekarang? Aku beli lipstik baru, dia tidak berkomentar. Terkesan lebih ke "bodo amat", tapi dalam artian positif yang membuatku lega. Alhamdulillah.

Dari rentetan kejadian ini, aku seperti disadarkan beberapa hal:

  1. "Istri yang terawat" ternyata bukan hanya soal memanjakan diri sendiri, tapi juga salah satu "kebutuhan" suami yang perlu dipenuhi untuk keharmonisan rumah tangga. Ini adalah jalan dua arah.

  2. Aku jadi paham kenapa para bapak harus turut serta dalam pengasuhan. Logika guruku sederhana tapi sangat masuk akal: anak bisa dititip ke eyangnya atau bahkan pengasuh, tapi suami? Tentu tidak. Hehe.

Maka, untuk diriku dan mungkin juga untukmu yang membaca ini: Yuk, kita mulai rawat diri. Pelan-pelan saja.

Tidak perlu langsung membeli satu set skincare mahal atau mendaftar keanggotaan gym. Mulailah dari yang paling dasar. Kalau selama ini saking sibuknya sampai jarang mandi, mulailah dengan niat mandi minimal sehari sekali.

Karena bau badan itu bukan hanya menzalimi diri sendiri, tapi juga orang-orang di sekitar kita. Merawat diri adalah bentuk cinta pada diri sendiri, dan juga penghargaan untuk orang yang kita cintai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kok Kamu Enggak Bisa Normal???

silent is my choice

Memahami Diet Rotasi Eliminasi: Langkah Awal Praktis untuk Nutrisi Anak Autis