Ricis : Rica Rica Isi
Setiap orang punya tempat makan legendaris di masa kuliahnya. Salah satunya tempat legendaris bagiku adalah sebuah warung sederhana yang aku dan teman-temanku juluki "Rica ISI".
Menu andalannya adalah rica-rica ayam super pedas yang siap membakar lidah, ditemani beberapa pilihan masakan sayur rumahan dan aneka gorengan hangat. Sebuah kombinasi sempurna untuk kantong dan perut mahasiswa.
Aku masih ingat betul, sekitar tahun 2013, dengan membawa selembar uang sepuluh ribuan, aku sudah bisa pulang dengan perut bahagia. Uang Rp 10.000 itu bisa ditukar dengan sepiring nasi penuh, lauk rica ayam plus sayur, segelas es teh manis yang menyegarkan, dan masih sisa untuk mengambil dua biji gorengan.
Soal porsi, jangan ditanya. Porsi mahasiswa sejati. Kalau makan siang di sana, dijamin kamu akan kenyang sampai bertemu malam lagi. Hehe. Lebay sih ini
Kemarin, setelah bertahun-tahun tidak kesana, langkah kakiku membawaku kembali ke warung itu. Suasananya masih sama, berbagai lauk terpampang nyata di depanku. Tapi ada yang berbeda. Pengunjungnya.
Kulihat sekarang semakin beragam. Bukan hanya mahasiswa sepertiku dulu. Di salah satu sudut, kulihat rombongan tiga orang ibu beserta anak-anak mereka yang asyik bercanda, usianya sekitar 4-6 tahun. Seketika aku berasumsi, usia ibu-ibu itu pasti tak jauh dari usiaku saat ini. Waktu benar-benar sudah berlari, ya.
Selesai makan, aku beranjak ke tempat pemesanan—tidak ada meja kasir modern di sini, semua masih sama seperti dulu.
Aku menyebutkan pesananku dengan lancar. "Nasi rica sayur, jeruk anget, dan tahu bakso 2, Bu."
Ibu penjual mengangguk sambil menghitung, lalu berkata, "Dua puluh ribu, Mbak."
Aku tersenyum, sedikit tertegun, lalu mengangsurkan selembar uang dua puluhan. Pas. Tanpa kembalian.
Aaaahhh. Sebuah realisasi sederhana menghantamku dengan lembut. Sepuluh tahun kemudian, harga untuk seporsi kebahagiaan di warung ini naik tepat dua kali lipat. Rasanya masih sama enaknya, suasananya masih sama hangatnya, tapi waktu telah mengubah nilainya.
Sambil berjalan keluar, aku terkekeh sendiri membayangkan masa depan.
Jangan-jangan sepuluh tahun lagi, kalau aku kembali ke sini, harganya sudah jadi empat puluh ribu. Ehe.
Komentar
Posting Komentar