Children see, children do

Kalau ada piala untuk "Ibu Paling Bucin Sama Anak", mungkin aku salah satu nominasinya. Rasanya hampir tiap detik mulut ini nggak berhenti merapal kalimat sayang.

"Fizhan sayang, anak sholihnya ibu, ibu sayang banget sama Fizhan." "Mas Fariz, pinter, anak sholih, jagoannya ibu, ibu sayang mas Fariz."

Begitulah mantranya setiap hari. Buatku, afirmasi positif itu penting, dan aku ingin anak-anakku selalu tahu betapa berharganya mereka.

Sampai suatu hari, mantra itu diuji langsung oleh keadaan.

Saat itu aku sedang fokus membalas beberapa WhatsApp terkait pekerjaan di HP. Tiba-tiba, Mas Fariz datang dan langsung merebut HP dari tanganku. Karena kaget dan dikejar deadline, nada bicaraku refleks naik satu oktaf.

"Ibu balesin WA dulu, Fariz! Nanti boleh pegang HP-nya lagi!" kataku dengan suara yang agak keras.

Sedikit konteks, Fariz, anak pertamaku, adalah seorang anak autis yang istimewa. Buatnya, mengambil barang seperti HP, remot AC, atau bahkan penggaris, adalah caranya berinteraksi. Biasanya hanya dipegang, didekap, sambil dicium-cium. HP-ku adalah salah satu barang favoritnya.

Selain itu, Fariz juga sangat sensitif dengan suara keras. Suara yang sedikit lebih tinggi dari biasanya bisa langsung memicu marahnya atau tangisnya. Aku dan suami sudah berusaha keras untuk selalu mengontrol volume suara di rumah. Tapi ya, namanya juga manusia, kadang ada "bocornya" juga, apalagi kalau mood lagi nggak karuan. Kalau sudah begitu, ya kami terima saja konsekuensinya. Hehe. Aku pun mengizinkan Fariz untuk marah, selama tidak merusak barang dan menyakiti dirinya atau orang lain.

Nah, kembali ke momen "suara bocor" tadi.

Benar saja, setelah mendengar nada kerasku, raut wajah Fariz langsung berubah. Tanda-tanda tantrum sudah di depan mata.

Di tengah situasi yang mulai tegang itu, adiknya, Fizhan, tiba-tiba mendekati kakaknya dan berkata dengan lembut, persis meniru gayaku sehari-hari:

"Mas Fariz sayangku, ibu kerja dulu ya. Mas Fariz kan anak sholih, to?"

Seketika itu juga, hatiku langsung meleleh. Lumer. Rasanya seperti ada yang menyiram air sejuk di tengah kepala yang mulai panas. Aku terdiam, menatap dua malaikat kecilku. Anak yang lebih kecil sedang menenangkan kakaknya dengan "senjata" yang selama ini aku tanamkan.

Eh, tapi momen haru itu harus dijeda sebentar. Aku masih harus membalas WhatsApp kerjaan itu. Soalnya kalau nggak dibalas, ya nggak dapat duit, wkwkwk. Realita ibu bekerja memang begini, ya.

Dari kejadian singkat itu, aku kembali diingatkan oleh sebuah pelajaran besar: apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.

Tingkah laku anakmu hari ini, bisa jadi adalah cerminan dari tingkah lakumu di masa lalu. Semua kata-kata, intonasi, dan perlakuan yang kita berikan pada mereka, direkam dengan sempurna dalam memori kecilnya. Dan suatu saat, mereka akan memutarnya kembali, seringkali di momen yang paling tidak kita duga.

Children see, children do.

Investasi terbesar kita sebagai orang tua mungkin bukanlah materi, melainkan kebiasaan dan kata-kata baik yang kita berikan setiap hari. Karena itu akan tumbuh bersama mereka, dan bahkan, menjadi penolong kita di saat kita sendiri lupa bagaimana caranya menjadi baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kok Kamu Enggak Bisa Normal???

Memahami Diet Rotasi Eliminasi: Langkah Awal Praktis untuk Nutrisi Anak Autis

Selamat Datang Kembali