Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Produk Wadah Plastik BerGaransi Seumur Hidup : Moorlife

GARANSI SEUMUR HIDUP  Pikiran kita langsung jalan: "Ah, yang bener? Ini beneran apa cuma marketing gimmick biar kita cepet check out ?" Jujur, aku pun awalnya gitu. Rasanya terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Jadi, Beneran Diganti kalau pakai produk-produk Moorlife Rusak? Jawaban singkatnya: BENERAN, DONG! ✨ Ini bukan janji manis di bibir aja. Moorlife beneran berkomitmen sama kualitas produknya. Garansi ini berlaku untuk semua kerusakan yang terjadi karena pemakaian normal . Moorlife sudah bilang di webnya langsung ( https://moorlife.id/garansi-bpa-free/ ) kalau Produk MOORLIFE dilindungi oleh Moor Lifetime Guarantee yang berarti produk Moorlife yang rusak atas pemakaian normal (sesuai dengan fungsinya), maka dapat ditukarkan secara gratis. Eits, Tapi Ada Syaratnya ya, Bestie! Nah, biar kita sama-sama enak dan nggak ada drama salah paham di kemudian hari, ada beberapa kondisi yang TIDAK TERMASUK dalam garansi. Ini penting banget buat dicatat, ya! Semua kerusakan termasuk ...

Dikta (?)

Baru-baru ini aku iseng membuka folder tulisan lama di laptop, dan rasanya... aduh, menggelikan! Kayak lagi baca tulisan orang lain yang nggak aku kenal, tapi kok ya itu tulisanku sendiri. Ada satu tulisan yang sukses bikin aku geli maksimal sambil geleng-geleng kepala. Ternyata, aku pernah selebay itu ya. Hehe. Ceritanya, dulu itu aku fans berat Pradikta Wicaksono. Panggil saja Mas Dikta. Saking ngefans-nya, di tahun 2015 aku sampai ikut lomba menulis surat untuk beliau yang diadain sama TYN (Teman Yovie Nuno). Biar kamu bisa ikut merasakan tingkat ke-alay-an-ku waktu itu, nih aku kasih cuplikan suratnya: Dalam hal tertentu, aku memang sedikit berlebihan. Begitulah teman-temanku memandangku ketika melihat sosok seorang Pradikta Wicaksono. Setelah melihat Kak @dikta, tipe lelaki impian jadi berubah seperti dia. Suara kakak sudah menemani sebagian perasaan yang ada di dalam hatiku. Harapanku di usia kak Dikta yang ke-30 ini, kak Dikta selalu diberikan kesehatan oleh Allah, rejeki lancar...

Ricis : Rica Rica Isi

Setiap orang punya tempat makan legendaris di masa kuliahnya. Salah satunya tempat legendaris bagiku adalah sebuah warung sederhana yang aku dan teman-temanku juluki "Rica ISI". Menu andalannya adalah rica-rica ayam super pedas yang siap membakar lidah, ditemani beberapa pilihan masakan sayur rumahan dan aneka gorengan hangat. Sebuah kombinasi sempurna untuk kantong dan perut mahasiswa. Aku masih ingat betul, sekitar tahun 2013, dengan membawa selembar uang sepuluh ribuan, aku sudah bisa pulang dengan perut bahagia. Uang Rp 10.000 itu bisa ditukar dengan sepiring nasi penuh, lauk rica ayam plus sayur, segelas es teh manis yang menyegarkan, dan masih sisa untuk mengambil dua biji gorengan. Soal porsi, jangan ditanya. Porsi mahasiswa sejati. Kalau makan siang di sana, dijamin kamu akan kenyang sampai bertemu malam lagi. Hehe. Lebay sih ini Kemarin, setelah bertahun-tahun tidak kesana, langkah kakiku membawaku kembali ke warung itu. Suasananya masih sama, berbagai lauk terpampan...

Untuk aku yang lalu,

Aku menulis ini bukan untuk menyalahkanmu, tapi untuk menyapa dan mungkin sedikit menjelaskan. Aku minta maaf jika kau tidak mengenalku yang hari ini. Nyatanya, kehidupan, dengan segala liku dan pelajarannya, telah mengubahku menjadi seperti ini. Aku berharap, dan terus berdoa, semoga setiap perubahan ini adalah hal yang baik dan semakin mendekatkan kita kepada-Nya. Hai, ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu. Aku yang sekarang tidak terlalu suka pedas lagi. Lucu, ya? Dulu kita bisa dengan bangga menaklukkan level tertinggi, sekarang level 2 saja sudah bisa membuatku kepedasan, sementara level 1 terasa hambar. Kamu masih suka pedas, kan? Nikmatilah selagi bisa. Oh, dan satu lagi. Aku sudah berani untuk makan di tempat umum sendirian. Tidak lagi sepertimu yang harus selalu menunggu ada teman baru mau makan di luar. Ternyata, makan sendiri sambil mengamati sekitar tidak seburuk yang kau kira. Aku sekarang juga orangnya lebih cuek. Kalau belanja, aku hanya akan membeli barang sesu...

Skincare?

 "Pelan-pelan, Dik": Obrolan dengan Guru Ngaji yang Mengubah Cara Pandangku Soal Rawat Diri "Aku sekarang udah nggak pernah skin care -an lagi, lho. Gendut juga nggak masalah, yang penting anak dan keluarga sehat." Kalimat itu meluncur dengan bangganya dari mulutku saat berbincang dengan guru yang biasa membimbingku mengaji. Ada semacam kepuasan batin saat itu, merasa telah menjadi ibu seutuhnya yang mendedikasikan seluruh hidup untuk keluarga. Urusan penampilan? Ah, itu nomor sekian. Padahal kalau dipikir-pikir, mana ada "gendut yang sehat"? Hehe, itu mungkin cuma kalimat pembenaran saja. Guruku tersenyum lembut, lalu mengucapkan kalimat yang pelan namun menohok. "Pelan-pelan, Dik, harus mulai dirawat," katanya. Beliau melanjutkan, seolah tahu persis apa yang ada di kepalaku. "Kalau kita merawat diri, kita sendiri merasa enak, yang memandang di rumah juga enak. Coba sekarang dibalik saja. Kalau di rumah, dandan yang cantik. Kalau mau keluar...

Belanja: Sebuah Kata, Seribu Godaan, dan Saldo yang Pas-pasan

be·lan·ja /bêlanja/ nomina uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi "belanja" sesederhana itu. Tapi praktiknya? Oh, tentu tidak. Bagiku, saat ini kata itu lebih terasa seperti sebuah mantra pemanggil godaan. Kata favoritku hari ini: Belanja . Lima menit dari sekarang? Mungkin sudah ganti. Tapi untuk detik ini, hanya itu yang ada di kepala. Jujur, aku sedang tidak ingin menulis apa-apa. Tidak ada hasrat untuk merangkai kata, menyusun paragraf, atau mencari ide cemerlang. Energi dan daya pikirku sudah tersedot habis oleh satu keinginan murni yang datang dari lubuk hati yang paling dalam: CHECK-OUT KERANJANG BELANJA. Iya, cuma itu. Keranjang oranye di Shopee sudah penuh. Keranjang hijau di Tokopedia sudah melambai-lambai. Keranjang di Blibli dan Lazada pun tak kalah meriahnya. Isinya adalah barang-barang yang sudah melewati riset mendalam—perbandingan harga, cek ulasan pembeli, nonton video unboxing —semuanya sudah siap diadops...

Karena Allah?

  "Karena Allah ya, Bu?" Jawaban Si Kecil yang Menampar Sekaligus Menyadarkan Menjadi orang tua itu seperti masuk ke sekolah kehidupan yang kurikulumnya selalu penuh kejutan. Gurunya? Anak kita sendiri. Kadang, mereka melempar pertanyaan-pertanyaan polos yang jawabannya ternyata jauh lebih dalam dari yang kita kira. Seperti yang terjadi padaku beberapa hari lalu. Di tengah waktu santai, Fizhan tiba-tiba menatapku dengan mata bulatnya dan bertanya: "Ibu, kenapa sayang sama Fizhan?" Seketika otakku berhenti bekerja. Ngapain sih ini anak nanya ginian? batinku. Bukankah sudah jelas aku mencintainya tanpa syarat, tanpa alasan, pokoknya default setting seorang ibu? Hehe. Aku cuma bisa meringis sambil memutar otak, mencari jawaban yang pas untuk anak sekecil dia. Namun, belum sempat satu kata pun keluar dari mulutku, dia sudah menjawab pertanyaannya sendiri. "Karena Allah ya, Bu?" JLEB. Aku terdiam. Entah dari mana anak ini mendapatkan jawaban sedalam itu. Mung...

Children see, children do

Kalau ada piala untuk "Ibu Paling Bucin Sama Anak", mungkin aku salah satu nominasinya. Rasanya hampir tiap detik mulut ini nggak berhenti merapal kalimat sayang. "Fizhan sayang, anak sholihnya ibu, ibu sayang banget sama Fizhan." "Mas Fariz, pinter, anak sholih, jagoannya ibu, ibu sayang mas Fariz." Begitulah mantranya setiap hari. Buatku, afirmasi positif itu penting, dan aku ingin anak-anakku selalu tahu betapa berharganya mereka. Sampai suatu hari, mantra itu diuji langsung oleh keadaan. Saat itu aku sedang fokus membalas beberapa WhatsApp terkait pekerjaan di HP. Tiba-tiba, Mas Fariz datang dan langsung merebut HP dari tanganku. Karena kaget dan dikejar deadline , nada bicaraku refleks naik satu oktaf. "Ibu balesin WA dulu, Fariz! Nanti boleh pegang HP-nya lagi!" kataku dengan suara yang agak keras. Sedikit konteks, Fariz, anak pertamaku, adalah seorang anak autis yang istimewa. Buatnya, mengambil barang seperti HP, remot AC, atau bahkan pen...

Cemas Sama Tumbuh Kembang Anak? Yuk, Coba Skrining Awal Autisme di Rumah!

Hai Bun, Moms... Pernah nggak sih, hati terasa was-was melihat tumbuh kembang si kecil? Membandingkan dengan anak lain memang nggak disarankan, tapi naluri seorang ibu seringkali kuat. Kita merasa ada sesuatu yang "berbeda", tapi bingung harus mulai dari mana. Rasanya mau ke dokter tapi takut, didiamkan tapi khawatir. Kalau kamu ada di posisi ini, tarik napas dulu. Rasa cemasmu itu valid. Dan yang terpenting, ada sebuah langkah pertama yang bisa kamu lakukan sendiri di rumah untuk mengubah kekhawatiran itu menjadi sebuah data awal yang terstruktur. Gimana caranya? Kenalan yuk sama M-CHAT-R/F™ , sebuah kuesioner skrining yang bisa kamu akses di web anaktangguh.com . Tunggu Dulu, Apa Sih M-CHAT-R/F™ Itu? Oke, jangan pusing sama namanya ya. Anggap saja ini adalah sebuah kuesioner sederhana yang dirancang khusus oleh para ahli. Kepanjangannya adalah Modified Checklist for Autism in Toddlers, Revised, with Follow-Up . Intinya, ini adalah alat skrining yang sudah teruji secara il...

Telat bicara pada usia 2tahun, apa yang harus dilakukan?

Wajar sekali jika Bunda atau Ayah merasa khawatir saat anak usia 2 tahun bicaranya belum selancar teman-temannya. Kabar baiknya, usia ini adalah periode emas (golden period) untuk intervensi. Jadi, tindakan yang tepat sekarang bisa memberikan hasil yang sangat signifikan. Melihat sekarang sudah larut malam, ada dua hal yang bisa kita pilah: apa yang bisa langsung dilakukan di rumah mulai besok , dan langkah penting apa yang harus segera diambil dalam minggu ini. Normalnya Anak Usia 2 Tahun (24 bulan) Bisa Apa Aja Sih? Sebelum panik, kita samakan dulu persepsinya. Ini beberapa patokan (milestones) bicara anak usia 2 tahun: Kosakata: Sudah punya sekitar 50-100 kata atau lebih. Menggabungkan Kata: Mulai bisa merangkai 2 kata menjadi frasa sederhana, seperti "mau mamam," "susu lagi," atau "mobil ayah." Mengikuti Perintah: Paham dan bisa mengikuti perintah 2 langkah sederhana, contohnya "ambil bolanya, terus kasih ke bunda." Menunjuk: Aktif menun...

Speech Delay Bukan Autis

  1. "Telat bicara ( Speech Delay ) BUKAN BERARTI autis." Ini adalah poin yang paling penting untuk dipahami semua orang tua. Keterlambatan bicara adalah sebuah gejala , bukan diagnosis akhir. Gejala ini bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti: Gangguan pendengaran: Anak tidak bisa meniru suara jika tidak mendengarnya dengan jelas. Masalah oral-motor: Kelemahan pada otot di sekitar mulut yang membuatnya sulit untuk berbicara. Kurangnya stimulasi: Anak jarang diajak berkomunikasi dua arah. Developmental Language Disorder (DLD): Gangguan spesifik pada pemrosesan bahasa di otak. Dan banyak kemungkinan lainnya. Jadi, ketika seorang anak telat bicara, autisme hanyalah salah satu dari sekian banyak kemungkinan yang perlu dievaluasi oleh profesional. 2. "Autis TIDAK SELALU telat bicara  ( Speech Delay ) ." Ini juga sangat akurat. Ingat, namanya adalah Autism Spectrum Disorder (ASD) . Kata "spektrum" berarti gejalanya sangat luas dan bervariasi dari satu indi...

Anakku Kok Beda, Ya? Plis, Jangan Main 'Dokter-dokteran' Sendiri, Bun!

Hai Moms, hai Bun... Pernah nggak sih, malam-malam pas lagi scrolling medsos, eh, nemu postingan soal tumbuh kembang anak? Terus jadi kepikiran, "Lho, kok anakku belum bisa ini, ya?" atau "Duh, gejalanya kok mirip sama anakku?" Dari situ, mulailah kita masuk ke lubang kelinci: googling gejala, nonton video sana-sini, sampai akhirnya kita bikin kesimpulan sendiri di kepala. "Jangan-jangan anakku autis," atau "Fix, ini pasti ADHD." STOP! Tarik napas dulu, Bun. Pliiis , aku mohon banget, hati-hati ya. Jangan buru-buru pasang label ke anak kita sendiri. Aku sering banget denger cerita, ada orang tua yang udah yakin banget anaknya autis karena telat bicara. Mereka panik, cemas luar biasa. Setelah diperiksakan ke ahlinya, ternyata "hanya" speech delay biasa yang butuh stimulasi dan terapi wicara, nggak sampai ke spektrum autisme. Beda, kan? Penanganannya pun beda. Makanya, self-diagnosis itu lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Kal...

Byeee wadah kesayangan, Tupp*rwar*

Beberapa waktu lalu, ada berita yang lumayan bikin heboh dunia per-emak-an dan per-dapur-an se-Indonesia. Siapa lagi kalau bukan soal pabrik Tupp*rwar* yang resmi tutup di sini. Tupperware dan beberapa anak usahanya menyatakan bangkrut dengan melayangkan Chapter 11 yakni permohonan perlindungan kebangkrutan pada Selasa, 16 September 2024. Langkah ini diambil setelah berkurangnya permintaan produk-produk Tupperware oleh pasar dan kerugian finansial yang membengkak. Jujur, pas pertama kali dengar, ada rasa campur aduk. Sedikit kaget, sedikit sedih, dan banyak banget nostalgia yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Ingat kan gimana "sakral"-nya Tupperware di rumah? Wadah punya ibu yang kalau hilang bisa bikin seisi rumah interogasi. Botol minum andalan yang rasanya lebih adem kalau diisi air es. Momen di mana kita nyebut semua kotak bekal plastik dengan nama "Tupperware", padahal mereknya entah apa. 😂 Brand itu bukan cuma sekadar plastik, tapi udah jadi bagian dari kenan...

Mau tahu anak kita ADHD, autis, speech delay atau enggak… ke mana sih harus periksa dulu?

Tentu, pertanyaan ini sangat penting dan wajar dirasakan oleh orang tua yang peduli dengan tumbuh kembang anaknya. Mengetahui harus melangkah ke mana adalah kunci pertama untuk mendapatkan bantuan yang tepat. Secara umum, alur pemeriksaan untuk dugaan ADHD, autisme, atau speech delay memiliki tahapan yang jelas. Berikut adalah panduan langkah demi langkah ke mana Anda harus pergi, khususnya untuk Anda yang berdomisili di Klaten dan sekitarnya. Langkah 1: Titik Awal Pemeriksaan (Pintu Pertama) Anda tidak perlu bingung harus langsung ke spesialis mana. Mulailah dari yang paling mudah diakses. Ada dua pilihan utama sebagai titik awal: Dokter Spesialis Anak (DSA) Ini adalah langkah ideal pertama. Jelaskan semua kekhawatiran Anda secara rinci kepada DSA langganan Anda. Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab medis lain (misalnya masalah pendengaran yang menyebabkan speech delay ). Mereka juga akan melakukan skrining perkembangan awal. Da...

Emang Penting?

Aku melihat sekitarku. Baru saja tuanku meletakkan mukena dan sajadah disampingku. Namun, entah mengapa ia tak langsung menjamahku. Aku mendengar lagi suara televisi yang baru saja dinyalakan. "Aahhh kapan aku istirahat?" Aku mendengar televisi mengeluh. Aku ikut mendesah. Sungguh, aku ingin juga diperhatikan, dikunjungi, disentuh. Apakah waktu tuanku begitu sibuk, apakah tontonan televisi lebih berbobot, hingga membukaku saja seperti enggan. Kenapa ia tak biarkan televisi beristirahat sejenak. Barangkali sekitar tiga puluh menit, untuk sejenak duduk bersamaku? Ah sudahlah. Mungkin memang aku tak sepenting itu.

Alumni Teman Yovie Nuno dan Dikta Fever

Membuka laptop dan membaca tulisan lama rasanya sedikit menggelikan. Aku seperti membaca tulisan orang lain. Ada satu tulisan yang membuatku geli pada diriku sendiri. Dan berkali-kali menggelengkan kepala. Aku pernah selebay itu. Hehe. Dulu aku adalah fans berat Pradikta Wicaksono. Sebut saja @dikta Aku pernah ikut lomba menulis surat untuk kak Dikta yang diadakan TYN (teman yovie nuno) di tahun 2015. Nih aku kasih tahu penggalan suratnya yaa *** Dalam hal tertentu, aku memang sedikit berlebihan. Begitulah teman-temanku memandangku ketika melihat sosok seorang Pradikta Wicaksono. Setelah melihat Kak @dikta , tipe lelaki impian jadi berubah seperti dia. Suara kakak sudah menemani sebagian perasaan yang ada didalam hatiku. Harapanku di usia kak Dikta yang ke-30 ini, kak Dikta selalu diberikan kesehatan oleh Allah, rejeki lancar dan berkah, semoga tambah baik lagi kedepannya. *** Hai kak @dikta Aku minta maaf kalau aku tidak se-excited dulu ketika mendengar namamu disebut Aku minta maaf a...

Children see and Childreen do

Kebucinanku sama anak-anak udah sampai pada tahap yang hampir tiap detik bilang "Fizhan sayang, anak sholihnya ibu, ibu sayang sama Fizhan". Sering juga bilang "Mas Fariz, pinter, anak Sholih, anaknya ibu, ibu sayang mas Fariz". Eh suatu hari Fariz tantrum dan marah tiba-tiba karena ngerebut hpku, aku ngomong agak keras "Ibu balesin wa dulu, Fariz. Nanti boleh pegang hpnya lagi". Padahal saat itu aku lagi balesin beberapa wa terkait kerjaan. Fariz ini autis ya, ambil hp juga cuma dipegang aja, kadang ambil penggaris atau remot AC jg dipegang sambil dicium-cium. Nah sama kayak hpku yang jadi salah satu barang menarik buat dia. Selain itu, Fariz akan langsung marah, tiba-tiba nangis, kalau denger suara keras. Aku dan suami sudah coba mengontrol suara ya kalau dirumah. Kalau ternyata bocor suaranya, mood kita dalam kondisi yang enggak baik yaa diterima saja akibatnya hehe. Yaa gapapa sih, aku juga mengijinkan Fariz untuk marah kok, selama enggak ngerusak bara...

Sayang karena Allah

Pernah juga Fizhan tanya "ibu kenapa sayang sama Fizhan?" Ngapain dia nanya yaa, kan aku mencintainya tanpa syarat. Hehe Aku cuma meringis sambil mikir jawaban. Belum sempat jawab, lalu dia bilang "karena Allah ya Bu?" Entah lah dapat jawaban itu darimana. Mungkin dari sekolah, obrolan dengan ayahnya atau eyangnya. Lalu otomatis mikir. Iya juga yaa. Yang menitipkan rasa sayang dalam hatiku ini kan Allah. Selama ini pikiranku cuma bilang "kasih ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa". Padahal ada ibu kalau marah, anaknya dipukul. Anaknya manjat-manjat dimarahin. Kasih sayang ibu itu terbatas. Lagi sayang banget kalau anaknya lucu, kalau anaknya ngereog ya berubah jadi reog juga hehe. Langsung deh aku bilang "iya, makanya ibu ajarin Fizhan ngaji sama sholat, itu ibu mau bilang terimakasih ke Allah, soalnya Allah udah bikin ibu sayang sama Fizhan, dan nitipin Fizhan ke Ibu. Besok kalau belajar ngaji dan sholat sama Miss, yang sungguh-sungguh ya...

Skincare-an? Emang Penting?

"Pelan-pelan dik, harus mulai dirawat". Ucap guru yang biasa bimbing aku mengaji ketika aku dengan bangganya bilang kalau udah enggak pernah skin care an setelah punya anak, gendut enggak masalah yang penting sehat. Padahal enggak ada gendut yang sehat kayaknya hehe. "Kalau dirawat, kita enak, yang memandang dirumah juga enak. Sekarang dibalik aja, kalau dirumah dandan yang cantik, kalau diluar ga usah dandan gapapa." "Bayangin aja, suami diluar ketemu yang cantik, wangi, mas dirumah yang dilihat kumel." "Tapi kan butuh budget mbak" "Iya, kan pelan-pelan. Ada yang lebih berhak untuk melihat kita cantik dan wangi daripada yang diluar. Kalau anak, kita capek ngurus, masih bisa minta tolong orang lain. Kalau suami, hanya istri yang benar-benar bisa melayani." *** "Mas aku mau coba skinkeran lagi boleh?" "Boleh. Bertahap yaa" Kaget sih dia bilang begitu. Kupikir dia akan bilang "gausaaaah" hehe. Tapi tahu aja d...

Untuk Kamu, Aku yang Dulu

Untuk aku yang lalu, Aku minta maaf jika kau tidak mengenalku yang hari ini. Nyatanya kehidupan telah mengubahku menjadi seperti ini. Semoga perubahan ini adalah hal yang baik dan makin mendekatkan kita kepadaNya Hai, aku ingin menyampaikan bahwa aku sekarang tidak terlalu suka pedas. Kadang level 2 menjadi sangat pedas, dan level 1 menjadi kurang pedas. Kamu masih suka pedas kan? Aku sudah berani untuk makan di tempat umum sendirian, tidak sepertimu yang harus ada teman dulu baru mau makan diluar. Aku sekarang orangnya cuek, kalau belanja cuma sesuai list, ga muter-muter dulu menikmati pemandangan hehe. Karena yang dirumah gabisa ditinggal lama dan aku juga enggak mau ninggalin lama-lama. Aku mungkin terlihat seperti orang lain dimatamu, tapi aku adalah kamu yang sekarang. Jadi, gapapa ya berubah? Ada yang lebih penting daripada jadi diri sendiri, tapi jadi yang Allah suka. Berapa banyak orang yang merokok, melakukan dosa lantas dengan bangganya bilang "ya inilah aku kalau gasuka...

Rica-Rica ISI Solo

Sewaktu kuliah, ada satu warung yang sering kukunjungi. Aku dan teman-temanku biasa menyebutnya Rica ISI. Yaa, warung ini menyediakan menu spesial rica-rica ayam super pedas, beberapa macam masakan sayur, dan beraneka gorengan. Dulu ketika aku masih berstatus sebagai mahasiswa, sekitar tahun 2013, dengan membawa uang 10 ribu rupiah bisa dapat sepiring nasi rica ayam plus sayur, segelas es teh manis, 2 biji gorengan. Porsinya jangan ditanyaaa, kamu bakalan kenyang sampai malam kalau makan siang pakai ini. Hehe. Kemarin aku kembali mengunjungi warung ini. Kulihat pengunjungnya semakin beragam. Bukan hanya mahasiswa sepertiku dulu, tetapi kulihat rombongan tiga ibu beserta anak-anaknya yang berumur antara 4-6 tahun, yang akhirnya kuasumsikan bahwa usia ibu-ibu tak jauh dari usiaku saat ini. Selesai makan, aku beranjak dan menuju ke tempat dimana aku memesan makanan, tidak ada meja kasir. Aku menyebutkan makanan dan minuman yang kupesan tadi. "Nasi rica sayur, jeruk anget, dan tahu ba...

Kisah Ani dan Budi (1)

Sepulang sekolah, Budi menemukan Kakeknya yang berdiri menghadap cermin dikamarnya sambil menyisir rambutnya yang hampir seluruhnya berwarna putih. "Eyang mau pergi kemana?" Tanya Budi melihat sang Kakek yang mengenakan kemeja birunya. Kakek tersenyum menatap cucunya. "Apakah kamu pernah melakukan petualangan yang menakjubkan?" "Tentu pernah, kemarin aku baru saja pergi bersama Ayah dan Ibu bermain berbagai macam mainan." Sang kakek menggeleng, "Ah itu memang menyenangkan. Apa kau mau menemani kakek untuk berpetualang bersama?" "Tentu, aku mau," jawab Budi "Bagaimana kalau kau ajak Ani sekalian, rasanya berdua kurang menyenangkan." Budi memanggil adiknya untuk mengajaknya berpetualang bersama Kakek. "Kalau begitu, kalian bukalah lemari Kakek, dan temukan kejutan di dalamnya". "Siaaap kek," keduanya menunjukkan sikap hormat. Sambil berdebar-debar, Budi lalu membuka pintu rahasia. Budi dan Ani menemukan sebua...

Rela

Mereka bilang syukurilah saja Padahal rela tak semudah itu -feby putri- Menurut Kubler-Ross, ada 5 tahap yang dialami seseorang waktu menerima kabar buruk, yaitu 1. Penyangkalan (Denial) Sewaktu Fariz disuruh terapi okupasi, sempat kesel sama dokternya. "Ah paling terapi wicara sebulan bisa ngomong". Eh terapi okupasi 3.5 tahun belum bisa juga 😅😅 2. Marah Bahkan Fariz pernah jd sasaran marahku berulang kali, berulang kali bilang "kamu kenapa gabisa normal?". Pernah juga bilang "ibu capek, kamu cuma bisa nangis sama marah aja" Tolong jangan ditiru yaa. Sampai sekarang saya menyesal banget pernah ngomong gitu ke anak. 3. Menawar (Bargaining) Yaa gimana yaa pasti ada perasaan, "Fariz, ayo ngomong aja, yang penting ngomong," Hihi. Dasar aku 4. Depression (Depresi) Yaa ini jelas dong. Tiap malem nangis sholat tapi nyalahin Allah. Bilangnya "ya Allah aku dosa apa?". Lah masih nanya lagiii, wudhu sholat aja belum bener wkwk 5. Penerimaan (Ac...

Capek

Siapa sih yang ga capek ngurusin hidup ? Masalah yang sama dihadapi berkali-kali. Udah kelar dapat solusi, muncul lagi. Pas pakai solusi yang sama ternyataa gabisa selesai. Atau pas udah selesai, bau bau gelombang masalah baru muncul lagiii. Bukan cuma urusan anak, urusan sama suami/istri atau orangtua/mertua bahkan orang lain macam tukang parkir atau tukang sayur langganan sekalipun. Kadang ada saja yang bikin kita kesal. Jangan diusir capeknya yaa Lelah badan, lelah jiwa, lelah hati. Jangan diusir yaa Kalau capek, ya istirahat. Bawa tidur dulu, bawa rebahan. Capek itu wujud kalau manusia itu gabisa apa-apa. Kamu juga butuh dimanja kok. Manja yang bikin kita cari perhatian Tuhan. Cari perhatian Allah. Jadi, jangan pernah berpikir kamu sendirian yaaa. Semua pasti pernah ada di titik lelah. Atau sangat lelah Capek, gabisa istirahat? Dicoba yuk, tarik nafas sambil dzikir, kamu cuma perlu manja ke Tuhan saja. Bukannya orang capek biasanya lebih banyak berdoa ? Karena kalau manja ke manusi...

Jembak (?)

"Nanti pecelnya pakai jembak yang banyak ya," kata Ibu mertua ketika beliau menyuruhku untuk membeli pecel bakmi di gang dekat rumah. "Jembak?" Aku mengulang perkataan beliau. Aku takut salah dengar lantas menjadi salah sebut ketika membeli nanti "Iya, jembak. Kamu enggak tahu to? Wes sana, nanti bu lestari lak yo tahu." Ucap Ibu sambil meneruskan pekerjaan di dapurnya. Hari itu genap seminggu aku menjadi istri orang. Baru sekitar empat hari aku tinggal dirumah suami bersama ibu mertua. Hari ini Ibu menyuruhku untuk membeli pecel untuk sarapan pagi. Dalam perjalanan menuju warung pecel, aku masih penasaran bagaimana wujud "jembak" itu. Sampai diwarung, aku pelan-pelan berkata kepada bu Lestari, penjual pecel. "Bu, tumbas pecel, jembak e sing kathah," aku mengucapkan sambil setengah berbisik. Takut saja kalau ternyata pronounciation-ku salah. "Ooo jembaaaak," bu Lestari malah bersuara dengan lantang. Tidak ada yang heran dengan...