Postingan

Dari Nugget Homemade, Ebook, Sampai Harga Telur

Produk homemade itu memang harusnya lebih mahal sih dari produk pabrikan. Kenapa? Karena ya bikinnya aja satu-satu banget, biasanya pakai tenaga manual. Kita ambil contoh gampang aja, nugget ayam rumahan . Bahan: Udah pasti lebih "ndaging". Komposisi dagingnya jelas lebih banyak daripada tepungnya. Bahkan kadang ada yang nggak pakai tepung sama sekali. Beda sama buatan pabrik yang kadang kita nggak yakin itu daging ayam atau "rasa" ayam. Proses: Nggiling dagingnya pakai apa? Paling banter chopper atau blender biasa. Kalau pesanannya lagi banyak, bisa nge-blender berkali-kali. Jelas biaya listrik bisa beda. Mungkin ada yang pakai mesin, tapi ya mesin skala rumahan, bukan mesin raksasa pabrik. Tenaga: Ngebentuknya satu-satu pakai tangan. Nggak pakai alat cetak otomatis yang sekali jalan langsung jadi seribu biji. Tenaga yang dipakai buat ngulenin dan ngebentuk ini masa nggak dihargai? Jadi, jelas banget 'kan kenapa harganya lebih mahal daripada makanan UPF ...

Produk Wadah Plastik BerGaransi Seumur Hidup : Moorlife

GARANSI SEUMUR HIDUP  Pikiran kita langsung jalan: "Ah, yang bener? Ini beneran apa cuma marketing gimmick biar kita cepet check out ?" Jujur, aku pun awalnya gitu. Rasanya terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Jadi, Beneran Diganti kalau pakai produk-produk Moorlife Rusak? Jawaban singkatnya: BENERAN, DONG! ✨ Ini bukan janji manis di bibir aja. Moorlife beneran berkomitmen sama kualitas produknya. Garansi ini berlaku untuk semua kerusakan yang terjadi karena pemakaian normal . Moorlife sudah bilang di webnya langsung ( https://moorlife.id/garansi-bpa-free/ ) kalau Produk MOORLIFE dilindungi oleh Moor Lifetime Guarantee yang berarti produk Moorlife yang rusak atas pemakaian normal (sesuai dengan fungsinya), maka dapat ditukarkan secara gratis. Eits, Tapi Ada Syaratnya ya, Bestie! Nah, biar kita sama-sama enak dan nggak ada drama salah paham di kemudian hari, ada beberapa kondisi yang TIDAK TERMASUK dalam garansi. Ini penting banget buat dicatat, ya! Semua kerusakan termasuk ...

Dikta (?)

Baru-baru ini aku iseng membuka folder tulisan lama di laptop, dan rasanya... aduh, menggelikan! Kayak lagi baca tulisan orang lain yang nggak aku kenal, tapi kok ya itu tulisanku sendiri. Ada satu tulisan yang sukses bikin aku geli maksimal sambil geleng-geleng kepala. Ternyata, aku pernah selebay itu ya. Hehe. Ceritanya, dulu itu aku fans berat Pradikta Wicaksono. Panggil saja Mas Dikta. Saking ngefans-nya, di tahun 2015 aku sampai ikut lomba menulis surat untuk beliau yang diadain sama TYN (Teman Yovie Nuno). Biar kamu bisa ikut merasakan tingkat ke-alay-an-ku waktu itu, nih aku kasih cuplikan suratnya: Dalam hal tertentu, aku memang sedikit berlebihan. Begitulah teman-temanku memandangku ketika melihat sosok seorang Pradikta Wicaksono. Setelah melihat Kak @dikta, tipe lelaki impian jadi berubah seperti dia. Suara kakak sudah menemani sebagian perasaan yang ada di dalam hatiku. Harapanku di usia kak Dikta yang ke-30 ini, kak Dikta selalu diberikan kesehatan oleh Allah, rejeki lancar...

Ricis : Rica Rica Isi

Setiap orang punya tempat makan legendaris di masa kuliahnya. Salah satunya tempat legendaris bagiku adalah sebuah warung sederhana yang aku dan teman-temanku juluki "Rica ISI". Menu andalannya adalah rica-rica ayam super pedas yang siap membakar lidah, ditemani beberapa pilihan masakan sayur rumahan dan aneka gorengan hangat. Sebuah kombinasi sempurna untuk kantong dan perut mahasiswa. Aku masih ingat betul, sekitar tahun 2013, dengan membawa selembar uang sepuluh ribuan, aku sudah bisa pulang dengan perut bahagia. Uang Rp 10.000 itu bisa ditukar dengan sepiring nasi penuh, lauk rica ayam plus sayur, segelas es teh manis yang menyegarkan, dan masih sisa untuk mengambil dua biji gorengan. Soal porsi, jangan ditanya. Porsi mahasiswa sejati. Kalau makan siang di sana, dijamin kamu akan kenyang sampai bertemu malam lagi. Hehe. Lebay sih ini Kemarin, setelah bertahun-tahun tidak kesana, langkah kakiku membawaku kembali ke warung itu. Suasananya masih sama, berbagai lauk terpampan...

Untuk aku yang lalu,

Aku menulis ini bukan untuk menyalahkanmu, tapi untuk menyapa dan mungkin sedikit menjelaskan. Aku minta maaf jika kau tidak mengenalku yang hari ini. Nyatanya, kehidupan, dengan segala liku dan pelajarannya, telah mengubahku menjadi seperti ini. Aku berharap, dan terus berdoa, semoga setiap perubahan ini adalah hal yang baik dan semakin mendekatkan kita kepada-Nya. Hai, ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu. Aku yang sekarang tidak terlalu suka pedas lagi. Lucu, ya? Dulu kita bisa dengan bangga menaklukkan level tertinggi, sekarang level 2 saja sudah bisa membuatku kepedasan, sementara level 1 terasa hambar. Kamu masih suka pedas, kan? Nikmatilah selagi bisa. Oh, dan satu lagi. Aku sudah berani untuk makan di tempat umum sendirian. Tidak lagi sepertimu yang harus selalu menunggu ada teman baru mau makan di luar. Ternyata, makan sendiri sambil mengamati sekitar tidak seburuk yang kau kira. Aku sekarang juga orangnya lebih cuek. Kalau belanja, aku hanya akan membeli barang sesu...

Skincare?

 "Pelan-pelan, Dik": Obrolan dengan Guru Ngaji yang Mengubah Cara Pandangku Soal Rawat Diri "Aku sekarang udah nggak pernah skin care -an lagi, lho. Gendut juga nggak masalah, yang penting anak dan keluarga sehat." Kalimat itu meluncur dengan bangganya dari mulutku saat berbincang dengan guru yang biasa membimbingku mengaji. Ada semacam kepuasan batin saat itu, merasa telah menjadi ibu seutuhnya yang mendedikasikan seluruh hidup untuk keluarga. Urusan penampilan? Ah, itu nomor sekian. Padahal kalau dipikir-pikir, mana ada "gendut yang sehat"? Hehe, itu mungkin cuma kalimat pembenaran saja. Guruku tersenyum lembut, lalu mengucapkan kalimat yang pelan namun menohok. "Pelan-pelan, Dik, harus mulai dirawat," katanya. Beliau melanjutkan, seolah tahu persis apa yang ada di kepalaku. "Kalau kita merawat diri, kita sendiri merasa enak, yang memandang di rumah juga enak. Coba sekarang dibalik saja. Kalau di rumah, dandan yang cantik. Kalau mau keluar...

Belanja: Sebuah Kata, Seribu Godaan, dan Saldo yang Pas-pasan

be·lan·ja /bĂȘlanja/ nomina uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi "belanja" sesederhana itu. Tapi praktiknya? Oh, tentu tidak. Bagiku, saat ini kata itu lebih terasa seperti sebuah mantra pemanggil godaan. Kata favoritku hari ini: Belanja . Lima menit dari sekarang? Mungkin sudah ganti. Tapi untuk detik ini, hanya itu yang ada di kepala. Jujur, aku sedang tidak ingin menulis apa-apa. Tidak ada hasrat untuk merangkai kata, menyusun paragraf, atau mencari ide cemerlang. Energi dan daya pikirku sudah tersedot habis oleh satu keinginan murni yang datang dari lubuk hati yang paling dalam: CHECK-OUT KERANJANG BELANJA. Iya, cuma itu. Keranjang oranye di Shopee sudah penuh. Keranjang hijau di Tokopedia sudah melambai-lambai. Keranjang di Blibli dan Lazada pun tak kalah meriahnya. Isinya adalah barang-barang yang sudah melewati riset mendalam—perbandingan harga, cek ulasan pembeli, nonton video unboxing —semuanya sudah siap diadops...